
BATAM | Supraptono, Sekjen LSM SRK ( Suara Rakyat Keadilan ) terlihat geram ketika mengemukakan pendapatnya tentang masalah Reklamasi Golden Prown ( GP ) seluas 107 Hektar.
” Sudah jelas bermasalah kenapa tidak ditindak lanjuti. Kepala Lahan BP Kawasan harusnya proaktif. Kita mendukung jika Pak Imam Bahroni ( Ka. Kantor Lahan BP Batam ) bertindak tegas berdasarkan aturan hukum terhadap GP. Segel itu lokasi, suruh bayar dulu WTO 150 Milliar, baru boleh beroperasi normal. Kami siap mengawal jika hal tersebut di lakukan.” tutur Supraptono berapi-api.
Permasalahan reklamasi GP memang kisruh semenjak awal proyek yang ditengarai hanya berbekal rekomendasi Walikota Batam ini berjalan. Pada 2016, Ketika Dendi Purnomo masih menjabat sebagai Ka. Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, 14 perusahaan yang mendapatkan pekerjaan reklamasi GP sempat dihentikan. Tak kurang dari Polda Kepri sendiri turun tangan terhadap aktifitas Reklamasi GP.
Tidak hanya itu, efek lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan reklamasi ini juga sangat destruktif. Lokasi pengambilan lahan untuk penimbunan diperkirakan berasal dari kawasan Hutan Lindung Tanjung Puntung. Aktifitas ini otomatis menyebabkan hilangnya fungsi kawasan lindung secara permanen. Ini belum ditambah dengan kerusakan habitat laut dan ekosistemnya mulai dari Mangrove sampai terumbu karang. Masih juga ditambah dengan hilangnya “periuk nasi ” para nelayan di sekitar kawasan tersebut.
” Sudah jelas Mal Administrasi, masih ditambah dengan merusak lingkungan. Mereka ( GP ) berani dengan bekal rekomendasi Walikota saja, kemudian melakukan reklamasi. Rekomendasi di bawa ke BPN, dan gilanya lagi BPN kemudian menerbitkan SHGB ( Sertifikat Hak Guna Bangunan ). Ini Batam, harus di ingat bahwa Hak Pengelolaan Lahan itu kewenangannya ada di BP Batam. Rekomendasi dari Walikota saja tidak cukup untuk bisa melakukan reklamasi, bahkan perlu dipertanyakan kenapa kok bisa mengeluarkan Rekomendasi. Ini bisa – bisa judulnya Nurdin Basirun Episode 2 nanti. ” demikian Supraptono menegaskan.
Terkait dengan kerugian Rp 150 Milliar, menurut Supraptono dapat dilihat dari tarif UWTO untuk kawasan komersil. ” Setidaknya, kawasan reklamasi itu harus membayar dengan tarif UWTO senilai lebih kurang Rp 140.000/m persegi. Ini kalau dikalikan 107 Hektar nilainya sama dengan Rp 150 Milliar.”
lebih jauh, Supraptono menilai potensial lost dari sektor ini jika dilakukan langkah proaktif bisa di eliminir. ” Realisasi pendapatan lahan BP Batam akhir tahun 2018 itu angkanya Rp 420 Milliar. Tentunya, jika law enforcement untuk lahan ini bisa berjalan dengan baik jangankan Rp 420 milliar, mungkin bisa mendekati 1 trilliun lebih pendapatan lahan pada 2019 ini. Karena terbukti banyak lahan reklamasi ternyata bermasalah kan ? ” tutur Supraptono balik mempertanyakan.
Sebagai langkah konkrit, dalam waktu dekat Supraptono dengan LSM SRK nya sudah siap siap untuk melakukan langkah hukum. ” Kami akan gugat Mal Administrasi yang terjadi ini. Yang akan digugat adalah Walikota Batam, BPN dan GP. Gugatan akan kami layangkan melewati PTUN ( Pengadilan Tata Usaha Negara.” tegas Supraptono menyatakan rencana aksinya sembari menutup kepada beritabatam.com.
Sampai berita ini diturunkan, masih di butuhkan upaya upaya untuk mendapatkan informasi dari pihak pihak terkait. ( Red )