
BERITABATAM.COM, Jakarta – Sejumlah pengusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam dan bukan logam mineral jenis tertentu mengeluhkan layanan perizinan.
Keluhan itu muncul paska terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Maka dari itu Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) mengusulkan agar Pemerintah Pusat segera melakukan revisi terhadap Perpres tersebut.
“Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Layanan perizinan berusaha tidak boleh stagnan, “ujar Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennary menjawab mediakepri, Rabu 27 April 2022.
Karena kata Ady, investasi harus terus bergerak sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai harapan.
Menurut Ady, sejak pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menolak melayani permohonan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
“Mereka menolak karena Perpres Nomor 55 yang diundangkan pada tanggal 11 April 2022, sudah mengatur kewenangan pemberian WIUP mineral bukan logam, mineral bukan logam dan batuan sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi. Tapi, begitu kita ke daerah, ternyata daerah belum siap,” ujarnya.
Oleh karena itu, pria peraih anugerah Pahlawan Inovasi Teknologi Tahun 2015 ini mengusulkan tiga opsi sebagai solusi untuk memecah kebuntuan yang terjadi dalam pelayanan perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan pasca terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2022 tersebut.
“Pertama, Dirjen Mineral dan Batubara menerbitkan edaran yang mengatur teknis pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha untuk dipedomani daerah. Kedua, revisi Perpres Nomor 55 itu dan memberi ruang adanya masa transisi. Ketiga, cabut Perpres itu,” usulnya.
Ady menilai pendelegasian pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan dari pusat kepada pemerintah daerah provinsi terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan kesiapan perangkat daerah.
“Ini preseden buruk bagi dunia usaha dan investasi. Kita mengajukan izin ke pusat ditolak. Katanya ini kewenangan provinsi. Begitu kita ke provinsi, katanya mereka belum siap. Baik dari sisi penggunaan sistem, personil maupun anggarannya. Kacau kan?” ketus Ady.
Akibat tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan ini, Ady mengaku khawatir akan memicu lahirnya penambangan tanpa izin atau ilegal di berbagai daerah.
“Saya khawatir penambangan ilegal akan muncul dimana-mana karena tidak ada kejelasan kemana dan kepada siapa masyarakat harus mengajukan izin. Yang pasti, pusat menolak dan daerah belum bisa menerima,” bebernya. (amril)