
BERITABATAM.COM, Jakarta – Kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang bersifat retroaktif telah merugikan ribuan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Pada awalnya, Kemendes menjamin bahwa TPP tidak perlu mengundurkan diri atau cuti jika maju sebagai caleg.
Tetapi kemudian, menerapkan kebijakan baru yang berakibat pada pemecatan mereka secara sepihak.
Ketidakkonsistenan ini mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip hukum serta hak konstitusional para pekerja.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait keadilan dan kepastian hukum bagi TPP yang telah menjalankan hak politiknya secara sah.
Kronologi Kebijakan yang Tidak Konsisten
1. 23 Mei 2023: Perkumpulan Tenaga Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia) mengajukan surat kepada KPU RI dengan Nomor 10.SP.SP.V.2023, untuk meminta klarifikasi apakah TPP yang maju sebagai caleg diwajibkan mengundurkan diri, sebagaimana yang berlaku bagi pegawai BUMN dan lembaga lainnya.
2. 9 Juni 2023: KPU RI menindaklanjuti permintaan tersebut dengan mengirim surat kepada Menteri Desa PDTT dengan Nomor 582/PL.01.4-SD/05/2023, untuk meminta konfirmasi terkait aturan internal Kemendes mengenai status TPP yang maju sebagai caleg.
3. 27 Juni 2023: Menteri Desa melalui Sekretaris Jenderal Kemendes mengeluarkan surat balasan kepada KPU RI dengan Nomor 1261/HKM.10/VI/2023, yang menegaskan bahwa tidak terdapat ketentuan yang mengharuskan TPP mundur atau mengambil cuti jika mencalonkan diri sebagai caleg.
4. 20 Juli 2023: KPU RI menerbitkan surat edaran kepada seluruh KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan Nomor 740/PL.01.4-SD/05/2023, yang menegaskan bahwa berdasarkan surat dari Kemendes, TPP tidak diwajibkan untuk mundur atau cuti dari pekerjaannya jika maju sebagai caleg.
Namun, kebijakan ini berubah drastis pada awal tahun 2025:
5. Pada proses pencalonan tahun 2023, saya tidak berniat mencalonkan diri sebagai caleg sehingga pada pengumuman KPU untuk Daftar Calon Sementara (DCS), nama saya tidak muncul.
Akan tetapi, karena diminta oleh pimpinan dan sebagai bentuk kepatuhan terhadap pimpinan, akhirnya saya mengurus berkas persyaratan pencalonan.
Akibatnya, pada pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPUD Bangka Barat, nama saya muncul sebagai caleg dari salah satu partai politik peserta pemilu.
6. 3 Januari 2025: BPSDM Kemendes PDTT mengeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang di dalamnya terdapat lampiran surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh TPP.
Pada poin 2 surat pernyataan tersebut, disebutkan bahwa jika di kemudian hari TPP terbukti pernah mencalonkan diri sebagai caleg tanpa mengundurkan diri atau mengajukan cuti, maka ia bersedia diberhentikan secara sepihak oleh Kemendes.
Analisis Kebijakan dari Perspektif Hukum dan Keadilan
Kebijakan baru yang diterapkan oleh Kemendes bersifat retroaktif atau berlaku surut, yang bertentangan dengan prinsip hukum yang berkeadilan.
Dalam sistem hukum yang menjunjung kepastian hukum, suatu peraturan baru seharusnya tidak digunakan untuk menghukum tindakan yang pada saat dilakukan masih sah menurut aturan yang berlaku saat itu.
Lebih lanjut, kebijakan ini berpotensi melanggar beberapa peraturan perundang-undangan yang melindungi hak konstitusional warga negara dan pekerja, antara lain:
Undang-Undang Pemilu yang menjamin hak politik setiap warga negara untuk mencalonkan diri dalam pemilu tanpa diskriminasi.
Undang-Undang Ketenagakerjaan RI yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja, termasuk dalam menjalankan hak politiknya.
Pemberhentian secara sepihak terhadap TPP yang mencalonkan diri pada Pemilu 2024 mencerminkan bentuk diskriminasi terhadap mereka yang telah menggunakan hak politiknya secara sah dan dilindungi oleh konstitusi.
Jika Kemendes ingin menerapkan kebijakan baru terkait pencalonan TPP sebagai caleg, seharusnya kebijakan tersebut diberlakukan untuk masa depan dan tidak merugikan mereka yang bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku sebelumnya.
Kritik terhadap Analisis Hukum Prof. Dr. Juanda.
Dalam menganalisis Pasal 240 ayat (1) huruf (k) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Prof. Dr. Juanda, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas ESA Unggul Jakarta, menyatakan bahwa pejabat tertentu seperti Kepala Daerah, ASN, Direksi BUMN/BUMD, anggota TNI/Polri, serta profesi tertentu lainnya wajib mengundurkan diri jika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun, pandangan ini tidak mempertimbangkan beberapa aspek penting terkait status TPP.
1. Tidak Mempertimbangkan Surat Kemendes dan KPU
Prof. Juanda tidak memasukkan pertimbangan terhadap surat resmi dari Kemendes dan KPU yang secara jelas menyatakan bahwa TPP tidak diwajibkan mundur atau cuti ketika mencalonkan diri sebagai caleg.
2. TPP Bukan ASN atau Pegawai Tetap
TPP tidak termasuk dalam kategori ASN, pegawai BUMN/BUMD, atau pejabat negara lainnya yang diwajibkan mundur dalam UU Pemilu.
3. Pendanaan TPP dari Anggaran Barang dan Jasa.
Pengadaan TPP bukan berasal dari anggaran belanja pegawai, melainkan dari anggaran barang dan jasa.
Oleh karena itu, aturan yang berlaku untuk ASN atau pejabat negara lainnya tidak serta-merta dapat diterapkan kepada TPP.
Dengan demikian, kebijakan yang diberlakukan terhadap TPP seharusnya didasarkan pada status mereka sebagai tenaga profesional yang dikontrak dengan anggaran barang dan jasa, bukan sebagai pegawai tetap negara yang tunduk pada regulasi ASN atau pejabat publik lainnya.
Dampak Kebijakan terhadap TPP dan Pembangunan Desa.
Keputusan ini berdampak signifikan terhadap ribuan TPP yang telah berkontribusi dalam pembangunan desa.
Mereka kehilangan pekerjaan tanpa kejelasan dan tanpa kesempatan untuk mempertahankan haknya.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi mengganggu program pembangunan desa karena pengalaman dan kompetensi TPP yang diberhentikan tidak mudah digantikan dalam waktu singkat.
Secara psikologis, kebijakan ini juga menciptakan ketidakpastian dan ketakutan di kalangan tenaga pendamping yang tersisa, yang dapat berdampak pada efektivitas kerja mereka dalam mendukung program desa.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kebijakan Kemendes PDTT yang menerapkan pemberhentian terhadap TPP yang pernah mencalonkan diri sebagai caleg dalam Pemilu 2024 merupakan bentuk ketidakadilan dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum.
Seharusnya, aturan baru yang membatasi hak politik TPP diberlakukan ke depan, bukan diterapkan secara retroaktif untuk menghukum mereka yang telah menggunakan hak politiknya dengan sah. ***
Oleh Dato Sri Png Sardi Alpalangasi