
BERITABATAM.COM, Jakarta – Adanya aktivitas pemagaran laut diketahui pada 14 Agustus 2024 dimana Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, mengatakan pihaknya menerima informasi terkait pemagaran laut didaerah tersebut.
Pada saat dilakukan peninjauan ke lokasi panjang pagar laut masih sekitar 7 kilometer.
Pada 18 September 2024 DKP Kembali melakukan patroli Bersama Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang serta Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
Namun saat itu ditemukan bahwa panjang dari pagar laut kala itu telah mencapai 13,12 kilometer dan Januari 2025 panjang pagar laut kembali bertambah hingga 30,16 kilometer.
Hal ini tentunya telah memicu berbagai reaksi negatif dari masyarakat sipil dan terutama dari nelayan.
Pagar Laut Tangerang yang Mengantongi Sertifikat
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan setidaknya terdapat 265 bidang SHGB dan 17 SHM pada wilayah pagar laut.
“Setelah kami cek benar adanya [ada SHGB di wilayah laut], lokasinya pun benar adanya sesuai dengan aplikasi Bhumi yaitu ada di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang,” tegasnya dalam Konferensi Pers di Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.
SHGB dan SHM yang dimiliki pagar laut dinilai sebagai bentuk perampasan ruang dan privatisasi laut oleh pihak tertentu.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, bahwa di dasar laut tidak boleh ada sertifikat sehingga sudah jelas bahwa SHGB di kawasan pagar laut, Kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten merupakan sertifikat illegal.
Apa itu SHGB dan SHM?
Hak Atas Tanah adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara pemegang hak dengan Tanah, termasuk ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di bawah Tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan, serta memelihara Tanah, ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di bawah Tanah.
Hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pasal 16, terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
• Hak milik
• Hak guna usaha
• Hak guna bangunan
• Hak pakai
• Hak sewa
• Hak membuka tanah
• Hak memungut hasil hutan
Sertifikat tanah berfungsi sebagai bukti otentik atas hak tanah yang dimiliki dan sebagai bukti terkuat atas penguasaan lahan.
Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Sertifikat hak atas tanah yang tidak sesuai dengan identitas pemegang hak dapat menimbulkan masalah hukum.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, sertifikat tanah harus mencantumkan data fisik dan yuridis yang akurat, termasuk nama pemilik yang sesuai dengan identitas resmi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Jika terdapat kesalahan penulisan nama atau identitas, sertifikat tersebut dianggap cacat administrasi dan tidak memenuhi syarat hukum yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Hak Atas Tanah hanya dapat diberikan untuk bagian pesisir atau wilayah yang merupakan permukiman yang mana ketentuannya telah diatur di dalam Permen No. 17 Tahun 2016.
Wilayah laut dapat memiliki sertifikat HGB atau SHM, tetapi dengan syarat adanya pemanfaatan untuk pembangunan, sesuai dengan rencana tata ruang, serta adanya KKPRL dari KKP.
Namun dalam kasus pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, pemberian HGB dan SHM dilakukan tanpa memiliki KKPRL, sehingga melanggar aturan.
SHGB dan SHM telah dicabut oleh Menteri
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah mencabut 50 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut, di perairan Tangerang.
Ia menyebut sisa sertifikat lain masih dalam proses untuk ditindaklanjuti. Sekitar 200 lebih sertifikat tanah di atas pagar laut Tangerang masih dalam proses pemeriksaan yang terus berjalan.
Menteri ART/BPN menjelaskan, dirinya membatalkan setidaknya 50 bidang SHGB milik PT Intan Agung Makmur (IAM).
Perusahaan yang terafiliasi Agung Sedayu Group tersebut diketahui memiliki SHGB untuk total 243 bidang di area pagar laut.
Menteri ART/BPN juga menegaskan bahwa lahan SHGB milik PT IAM tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasalnya, SHGB tersebut berada di wilayah perairan.
Karena masuk kategori tanah hilang, maka seluruh alas hak di atas lahan tersebut resmi hilang.
Pembongakaran Pagar Laut
Pembongkaran pagar laut di Tangerang dimulai pada hari Sabtu, 18 Januari 2025. Namun, sempat dihentikan sementara dan kembali dilanjutkan pada Rabu, 22 Januari 2025.
Proses pembongkaran pagar laut di Tangerang dilakukan dengan melibatkan berbagai instansi dan metode yang terkoordinasi.
Pembongkaran melibatkan TNI Angkatan Laut (TNI AL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta instansi maritim lainnya. Lebih dari 2.500 personel gabungan dikerahkan untuk melaksanakan tugas ini.
Selain kapal, berbagai alat berat dan kendaraan tempur juga digunakan untuk mempercepat proses pembongkaran. KKP menurunkan armada kapal pengawas, tugboat, dan alat berat lainnya untuk mendukung kegiatan ini.
Proses pembongkaran dibagi menjadi beberapa titik, termasuk Tanjung Pasir, Kronjo, dan Mauk.
Ini dilakukan untuk memudahkan koordinasi dan mempercepat progres pembongkaran.
TNI AL menargetkan pembongkaran dapat mencapai lebih dari 5 kilometer dalam sehari dengan jumlah personel yang lebih banyak dan peralatan yang lebih lengkap dibandingkan dengan upaya sebelumnya.
Brigjen Harry juga memberikan tantangan kepada masyarakat nelayan untuk membantu proses ini.
Dengan personel yang kini tiga kali lebih banyak dan peralatan yang lebih lengkap, Harry optimistis target tersebut bisa tercapai.
Dengan koordinasi yang solid antara TNI AL, KKP, dan masyarakat, pembongkaran pagar laut ini diharapkan selesai lebih cepat dari jadwal.
Proses ini menjadi contoh kolaborasi efektif dalam menjaga kelestarian dan kebersihan wilayah perairan Indonesia. (ria fahrudin)