
BERITABATAM.COM, Bagansiapiapi – Gelombang pemutusan hubungan kerja ribuan tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sejak Jumat, 11 April 2025 memicu kegelisahan baru.
Tak hanya berdampak pada para honorer, isu mencuatnya praktik calo dalam proses perekrutan kini menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat.
Keluhan dan pengakuan para honorer yang telah dirumahkan beredar luas melalui media sosial, terutama Facebook dan WhatsApp.
Mereka mulai angkat bicara, mengungkap janji manis oknum calo yang sebelumnya mengaku bisa mengurus hingga Surat Keputusan (SK) keluar.
“Bagaimana tak tergiur, dijanjikan bisa jadi pegawai P3K setelah kerja honor,” ungkap Wati (25), bukan nama sebenarnya.
Nominal yang dipatok tak main-main, mulai dari Rp5 juta hingga Rp10 juta, bahkan lebih, disebut sebagai “uang pengurusan” untuk bisa masuk sebagai tenaga honorer.
Tak hanya itu, biaya tambahan seperti pembelian seragam, atribut, hingga perlengkapan kerja lainnya juga dibebankan kepada calon tenaga honorer.
“Contohnya yang masuk Satpol PP atau Damkar, semuanya beli sendiri. Minimal keluar uang lagi Rp3 sampai Rp5 juta,” dilansir dari salah satu media online ini.
Desas-desus pun berkembang.
Para calo yang dulu menjanjikan pekerjaan kepada tenaga honorer kini mulai diburu dan ditagih oleh mereka yang merasa tertipu.
Sebagian besar dari mereka mengaku direkrut menjelang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
“Masuk kerja saja bayar. Bahkan untuk ASN yang ingin jadi Kabid pun harus bayar,” aku sumber lainnya, menyebut sejumlah nama ASN yang disebut-sebut menggunakan uang pelicin demi mendapatkan jabatan.
Dari data yang dihimpun di wilayah Bagan Batu dan sekitarnya, tenaga honorer yang direkrut hanya dengan bermodal nota dinas kini menagih janji dan uang mereka.
Apalagi, banyak di antara mereka yang merasa dimanfaatkan secara politik.
“Banyak yang masuk saat Pilkada. Kami juga diminta memfoto dan memposting saat mencoblos. Ada yang mengawasi kami,” urai sumber lain.
Total 2.840 honorer dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Rokan Hilir telah dirumahkan.
Hal ini terjadi akibat larangan penganggaran gaji honorer berdasarkan Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 Pasal 65 ayat (3).
Jika tetap dianggarkan, akan menjadi temuan dan berpotensi sebagai pelanggaran pidana.
Jumlah tenaga honorer yang dirumahkan di setiap OPD bervariasi, berkisar antara 40 hingga 100 orang.
Salah satu OPD yang terdampak cukup besar adalah Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian (Kominfotiks) Rohil.
“Kalau memang dirumahkan, ya jangan ada lagi yang kerja sukarela atau jadi PHL tapi tetap pakai atribut OPD. Ini bisa mencoreng nama baik OPD,” pinta Ria (43), warga yang turut prihatin dengan kondisi tersebut.
Ia juga menyoroti praktik yang terjadi di lingkungan Kominfotiks.
Bila tetap mempekerjakan mereka secara tidak resmi, apalagi menggunakan anggaran kegiatan, maka hal itu bisa dikenai sanksi pidana dan melanggar undang-undang.
“Efeknya tidak baik. Mereka datang ke acara, lalu minta uang liputan. Kadang mencatut nama media untuk minta sumbangan dari panitia,” terang salah satu sumber media merujuk pada sejumlah kegiatan yang melibatkan oknum dari Kominfotiks Rohil. (alkaf hanori)