
BERITABATAM.COM – Indonesia adalah negara Megabiodiversitas dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah.
Menurut laporan Comprehensive Wealth in Indonesia oleh IISD, kekayaan total (all capital) per kapita Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat antara 1995 (USD 86.100/kapita) dan 2020 (USD 240.750/kapita.
Hal ini mengantarkan Indonesia menempati peringkat ke-14 dunia dalam total natural resource wealth.
Sehingga atas berkat rahmat Tuhan yang maha esa tersebutlah yang seharusnya menjadi refleksi serius pejabat pemangku kebijakan negeri ini untuk memfokuskan paradigma pengelolaan negara berdasarkan amanat konstitusi tertinggi UUD 1945 sebagai Staatfundamental Norm dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33 ayat 1, bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
Pasal 33 ayat 3, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dan pasal 33 ayat 4, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Konsep idealitas pengelolaan negara sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi telah diperkosa oleh tataran realitas pejabat sontoloyo yang membawa negeri ini menuju kehancuran dan kebinasaan.
Deforestasi meningkat tajam: pada 2023 terjadi kenaikan 27 % kehilangan hutan primer dibanding 2022. Area tambang nikel tumbuh tiga kali lipat antara 2020–2024 (bertambah 494 ha).
Kondisi laut memburuk: sedimentasi tambang memadamkan terumbu karang, memengaruhi 75 % spesies coral dunia & ribuan penduduk lokal.
Kerusakan alam Indonesia bersifat luas dan multifaset: deforestasi, pertambangan illegal, degradasi hutan mangrove, koral, polusi racun, dan emisi masif.
Sebagian besar terjadi melalui mekanisme legal (konsesi).
Menangani permasalahan ini memerlukan pertaubatan massal pejabat sontoloyo dengan mengimplementasikan kebijakan tegas: penegakan hukum, restorasi ekosistem, pengawasan wilayah konservasi, dan pengukuran resmi yang transparan.
Konsepsi pengerukan sumber daya alam di Negeri ini yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh pejabat sontoloyo perlu dipertanyakan dan dikaji ulang apakah benar-benar dirasakan oleh perekonomian nasional atau hanya menguntungkan dan membuat kenyang perut oligarki.
Jangan sampai pengerukan sumber daya alam secara ugal-ugalan yang dilakukan mengenyangkan perut oligarki, namun yang menanggung kerusakan alam berupa banjir, deforestasi, degradasi, pertambangan illegal dan segala macam akibat dari pengerukan sumber daya alam yang dilakukan secara ugal-ugalan adalah masyarakat setempat.
Pengelolaan negara secara ugal-ugalan juga akan menimbulkan gejala reaksi sosial dengan sentiment negatif.
Bukankah rakyat di Indonesia saat ini sudah sangat muak dengan aktivitas pera pejabat sontoloyo dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak ada ujung dan menimbulkan kerugian yang mat besar bagi warga negara.
Menurut data KPK IPK 2024 menduduki peringkat 99 dari 180 negara dengan skor 34/100.
Penyakit kronis Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menghujam sangat dalam ditubuh negeri ini harus diberantas dan dimusnahkan, tidak hanya dibagian pujuk namun harus dicabut sampai ke akar-akarnya.
Karena bagaimana mungkin Indonesia menjadi negara berdaulat dan melahirkan perdaban emas di tahun 2045 apabila penyakit kronis yang sejak awal diderita bangsa Indonesia tidak disembuhkan.
Praktik kotor ini tidak hanya menggerogoti kekayaan negara, namun juga merampas hak masyarakat miskin yang seharusnya menikmati Pembangunan dan pelayanan publik yang layak.
Indonesia menjadi negara miskin akibat korupsi dan itu menjadi sebuah kemutlakan absolut yang terjadi.
Korupsi tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh subur karena adanya kolusi dan nepotisme, yang seringkali berkelindan dalam mekanisme perekrutan jabatan publik, distribusi proyek, hingga penunjukan strategis posisi tertentu pada jabatan tertentu.
Nepotisme menyebabkan banyak posisi penting diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten, namun dipilih karena kedekatan keluarga atau politik.
Kolusi dan nepotisme inilah yang membuka jalan bagi praktik korupsi berjemaah.
Akhirnya, kebijakan dibuat bukan berdasarkan kepentingan rakyat, melainkan untuk melayani kelompok tertentu.
Hal ini yang menjadi latar belakang dan amat penting bagi para pejabat sontoloyo untuk segera melakukan pertobatan massal dengan menghasilkan suatu produk hukum yang memiliki efek konkret berupa hukuman mati sampai perampasan asset untuk tindak pidana korupsi.
Undang-undang hukuman mati bagi koruptor meskipun ada perdebatan terkait kaca mata Hak Asasi Manusia hingga Undang-undang perampasan asset sudah sangat mendesak untuk segera disahkan sebagai langkah mewujudkan asas kepastian dan keadilan hukum.
Kritik serius yang harus diperhatikan dengan seksama oleh pejabat sontoloyo negeri ini juga adalah momentum bonus demografi yang merupakan kekayaan sumber daya manusia negeri ini harus terberdayakan secara optimal dan sistematis.
Menurut Bappenas, bonus demografi Indonesia berlangsung antara 2020 hingga 2045.
Puncaknya diperkirakan terjadi pada tahun 2030-an, ketika lebih dari 70% penduduk berada dalam usia produktif.
Dari total otal penduduk: ±270 juta jiwa memiliki rasio usia produktif (15–64 tahun): ±191 juta jiwa (sekitar 70,7%).
Karunia besar ini berbalik 180 derajat pada tataran implementatif.
Dimana Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka berada di angka sekitar 5,32%, dengan jutaan anak muda lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi tidak bekerja sesuai bidangnya.
Bahkan sudah menjadi isu nasional sarjana sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dinegeri ini saat ini.
Sektor informal tetap mendominasi lapangan kerja (>50%), menunjukkan rendahnya produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan.
Sehingga daripada itu, sudah menjadi kewajiban pertobatan massal pejabat sontoloyo untuk Kembali merefleksikan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 27 ayat 2 “bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”.
Poin terakhir yang menjadi latar belakang serius pejabat sontoloyo untuk melakukan pertobatan massal adalah problematika paradoks Indonesia sebagai negeri yang kaya, namun ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
Mengapa, karena ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi. Dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Indeks Gini Indonesia pada 2023 menunjukkan ketimpangan yang masih cukup tinggi (sekitar 0,388), menunjukkan bahwa distribusi kekayaan belum merata.
Per Maret 2024, tingkat kemiskinan masih di angka sekitar 9,03%, dengan lebih dari 25 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Bahkan apabila mengacu data yang dirilis oleh Bank Dunia lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup dalam garis kemiskinan.
Efek domino dari kemiskinan adalah lahirnya stunting yang menjadi ancaman nyata bagi generasi muda, dengan prevalensi sekitar 21,5% (data Kemenkes 2024).
Ini berdampak langsung pada kecerdasan dan produktivitas jangka panjang.
Negara harus hadir dalam mewujudkan jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan yang absolut terjadi sebagaimana amanat tertinggi konstitusi UUD 1945 pasal 34 ayat 2 “bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Sehingga ini menjadi latar belakang yang amat serius bagi para pejabat sontoloyo untuk melakukan pertobatan massal guna berbenah mengelola negeri ini agar 2045 yang didambakan benar-benar menjadi era keemasan bangsa, bukan justru menjadi era kecemasan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. (ria fahrudin)
Oleh: Miftahul Huda, Dosen Hukum