
BERITABATAM.COM, Natuna – Hingga saat ini belum ada satu perusahaan pun yang memproduksi pasir kuarsa di Natuna, Kepulauan Riau.
Demikian pernyataan Ketua Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI), Ady Indra Pawennari, Senin 23 Mei 2022 dari Jakarta.
Pernyataan itu disampaikan Ady menyikapi berbagai polemik yang muncul di sejumlah pemberitaan negatif di daerah itu.
Katanya informasi tentang pertambangan kuarsa yang disampaikan belakangan ini cendrung menyudutkan pengusaha yang cendrung merugikan daerah.
“Tolong, jangan dipolemikkan lagi. Saya pastikan, saat ini belum ada satu perusahaan pun yang melakukan kegiatan operasi produksi kuarsa di Natuna, “tegas Ady.
Perlu Ia sampaikan, saat ini bukan era “main barbar” lagi. Semua informasi yang valid dan benar dengan mudah diperoleh. Termasuk informasi pertambangan yang ada di Natuna.
“Ini bukan eranya main barbar. Teknologi sudah sangat canggih dan dapat dijadikan pedoman untuk menuntun kita menjadi lebih bijak dalam menerima informasi, termasuk informasi tentang tambang kuarsa di Natuna,” ujarnya.
Menurut Ady, belasan perusahaan yang sudah mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam jenis tertentu atau kuarsa di Natuna, belum tentu dapat melanjutkan kegiatan operasi produksinya.
“Di Natuna memang ada kuarsa. Tapi, deposit dan spesifikasinya tidak merata. Jadi, masih perlu study kelayakan dan eksplorasi terlebih dahulu. Kalau hasilnya tidak layak secara ekonomi, pasti tidak berlanjut,” katanya.
Pria peraih anugerah Pahlawan Inovasi Teknologi Tahun 2015 ini juga meluruskan soal dampak negatif penambangan pasir kuarsa terhadap lingkungan hidup yang diberitakan sejumlah media belakangan ini.
“Penambangan pasir kuarsa berbeda dengan pasir bangunan, timah dan lainnya yang meninggalkan lubang cukup dalam. Kualitas pasir kuarsa yang baik itu berada di permukaan. Jadi, tak mungkin meninggalkan lubang yang dalam,” jelasnya.
Ady juga meminta masyarakat tidak menyikapi rencana penambangan kuarsa di Natuna secara berlebihan. Sebab, peraturan perundang-undangan tentang pertambangan saat ini sudah cukup ketat, baik dari sisi pelaksanaan maupun pengawasannya.
“Jadi, jangan menganggap semua perusahaan yang sudah dapat WIUP bisa lanjut ke operasi produksi. Begitu juga perusahaan yang dapat pencadangan wilayah 1.000 Ha bisa menambang seluas itu. Tahapannya cukup panjang,” bebernya.
Jika dalam study kelayakannya, sambung Ady, hanya ditemukan potensi kuarsa 50 Ha dari pencadangan wilayah yang diberikan seluas 1.000 Ha, maka hanya 50 Ha itu yang dapat dilanjutkan ke tahap operasi produksi.
“Jadi, tidak semua wilayah yang dicadangkan itu akan ditambang. Banyak kajian dan persyaratan yang harus dilalui untuk sampai ke tahap operasi produksi. Misalnya, study kelayakan, AMDAL dan lainnya,” katanya.
Salah satu persyaratan yang paling berat dalam kegiatan pertambangan saat ini adalah jaminan reklamasi dan pasca tambang. Sebab, jaminan tersebut ditempatkan di depan sesuai luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang diberikan.
“Kalau tidak salah, jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang ini besarannya sekitar Rp110 juta per hektar dan ditempatkan di depan. Karena itu, lahan yang tidak layak secara ekonomi, tidak mungkin dilanjutkan,” tutupnya. (bagus/hs)