
Oleh :
Nama : Lili Sandra
Nimko :1215210169
Semester : 2
Prodi : Ekonomi Syariah
MK : Kesenian Tamadun Melayu
BERITABATAM.COM, Natuna – Mendu adalah salah satu kesenian khas Kabupaten Natuna yang berasal dari Pulau Laut. Mendu berasal dari kata menghibur rindu atau hiburan rindu kampung halaman dan kasih sekampung.
Kesenian Mendu menyebar diberbagai tempat yaitu Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan (terempa dan langi), Mindai serta Tanjung Pinang.
Keunikan dari seni Mendu ini adalah bahwa cerita yang dimainkan tanpa naskah, harus hafal diluar kepala.
Dialognya disampaikan dengan nyanyian dan tarian.
Sementara itu, lagu-lagu yang dinyanyikan antara lain adalah Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, Catuk, Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat, Perang, Beremas dan masih banyak yang lain. Sedangkan tariannya Ladun, Jalan Runon, Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, dan Beremas.
Mendu merupakan seni lakon Rakyat Melayu yang sangat menarik untuk di tonton.
Teater tradisionalnya memainkan hikayat Dewa Mendu yang turun ke dunia dan berbaur dengan manusia sampai ia kembali ke Khayangan.
Pertunjukan seni rakyat khas Melayu ini sarat akan pesan dan menggabungkan unsur nyanyian, tarian, dan pertunjukan di Pulau Natuna, Kepulauan Riau.
Keunikan pementasannya yaitu cerita yang dimainkan tanpa naskah sehingga pemainnya harus memahami alur cerita.
Dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi oleh music yang khas. Iringan music menggunakan alat music berupa gong, gendang, beduk, bila, dan kaleng.
Awalnya seni pertunjukan Mendu dimainkan oleh nelayan dan petani sebagai hiburan. Mereka memainkan music, nyanyian, dan berpantun untuk melepas rindu pada kampong halaman.
Kata menghibur diri berubah menjadi Mendu karena kesenian ini menjadi tontonan menarik yang kemudian digemari oleh masyarakat Kabupaten Natuna.
Teater rakyat Mendu awalnya dimainkan mulai pukul 21.00 hingga semalam suntuk. Hikayat Dewa Mendu dimainkan sebagai cerita pertunjukan yang dipentaskan di tanah lapang.
Dahulu pementasan mendu memerlukan waktu yang sangat panjang.
Jika keseluruhan episode bisa memakan waktu sampai 40 malam, namun sekarang dapat diperpendek sampai 3 malam saja.
Bahkan, saat ini bisa dimainkan dalam sehari hanya dalam waktu 45 menit sampai dengan 2 jam dengan mengambil adegan atau fragmen yang penting atau yang diperlukan saja.
Cerita Hikayat Dewa Mendu menjadi inti pertunjukan ini terbagi ke dalam tujuh episode.
Episode pertama yang menceritakan kehidupan khayangan dan turunnya Dewa Mendu ke Bumi, hingga bertemunya Dewa Mendu dengan Siti Mahadewi yang kemudian menikah, sampai dengan episode ke tujuh bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan anaknya, Kilan Cahaya, yang diawali dengan perkelahian diantara keduanya.
Hikayat ini dapat dimainkan dalam beberapa versi, namun tidak menghilangkan inti cerita.
Untuk pementasan pemainnya berjumlah minimal 25 tetapi lebih baiknya 35 orang karena dengan itu pembagian tugas sama.
Panggung yang digunakan untuk pementasan adalah berukuran 4×14 meter yang terdiri atas tiga bagian yaitu ruang rias, balai penghadapan, dan area berlandun.
Khafilah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pementasan yang tugasnya yaitu mengatur jalannya pementasan.
Syekh adalah yang bertanggung jawab terhadap lingkungan yang tugasnya pelindung para pelakon. Pertunjukan dibuka dengan ladun yaitu tarian pembuka.
Para pemain keluar berpasang-pasangan dan berperan sebagai rakyat jelata serta wakil rakyat, mereka menari sambil berpantun.
Selesai berladun, beduk ditabuh dan para pemain mengambil posisinya masing-masing.
Tontonan rakyat ditutup dengan Beremas yang artinya berkemas-kemas untuk pulang.
Yang unik pada bagian Beremas ini adalah lagunya dikemas menyentuh perasaan, tidak ada penonton yang bercucuran air mata mendengarnya. Sehingga membuat para penonton ingin melihat lanjutan di malam berikutnya.
Kesenian ini menggunakan bahasa melayu, bahasa mendu di masing-masing daerah berbeda. pemainnya memiliki pencitraan(imajinasi) yang kuat.
Pencitraan yaitu daya dalam batin kita untuk membayangkan atau menggambarkan suatu peristiwa sehingga peristiwa itu benar-benar dipahami atau dimengarti oleh penonton sesuai kenyataannya.
Pemain mendu ini yaitu kalangan rakyat biasa namun mereka mempunyai kemampuan pencitraan yang kuat.
Sedangkan menurut budayawan B.M. Syamsudin (1987), mengatakan bahwa Mendu yang berkembang di daerah Bunguran Berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun 1780-1880.
Dulunya Mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki, namun sekarang mulai tahun 70-an, tidak hanya milik laki-laki semata tetapi perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan mendu.
Pertunjukan mendu biasanya memakan waktu lama hingga 7 malam, dengan panggung sederhana beratap daun sagu dan dibatas dengan pagar pelepah daun kelapa untuk membatasi penonton agar tidak mengganggu jalan pertunjukan.
Saat ini kesenian mendu mulai reda karena sudah jarang sekali ditampilkan dan kurangnya minat generasi muda yang mempelajari dan melestarikannya.
Harapan kedepannya agar kesenian mendu ini diangkat kembali sebagai aset budaya kita khususnya di daerah Kabupaten Natuna dan menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Natuna. (bagus/hs)