
Karena sebagai insan hukum kita semua mengamini bahwa hukum merupakan sumber kehidupan yang hakiki. Di mana ketika hukum melalui instrumennya memerintahkan menghilangkan nyawa seseorang. Maka konsekuensi yang harus di terima adalah hal tersebut merupakan keadilan yang bersifat represif. Dan harus di terima sebagai alasan logis dari diadakannya kodifikasi hukum yang ada.
Namun demikian, beberapa indikator pasal yang seharusnya tidak ada di dalam RUU KUHP sebagai landasan logis dari kematangan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi yang mapan adalah pasal penghinaan.
Baik itu pasal 240 & 241 mengenai penghinaan terhadap pemerintah, pasal 353 & 354 mengenai penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara serta pasal 218 & 219 mengenai penghinaan terhadap Presiden serta Wakil Presiden.
Karena dalam penerapannya berdasarkan pengalaman fenomenologi yang telah terjadi adalah seringnya instrumen undang-undang yang ada di jadikan sebagai konfigurasi politik untuk menjadikan kritikan sebagai suatu hal dibungkam sehingga nilai-nilai demokrasi yang kita anut selama ini berubah menjadi mobokrasi yang menjadikan pemerintahan di kuasai oleh kelompok orang yang memiliki kepentingan kelompok yang berkuasa. Dalam artian, hanya golongan-golongan tertentu saja. Bukan oleh rakyat sendiri dan untuk kepentingan rakyat secara murni.
Dalam penegakan hukum juga sering kali terjadi pembiasan yang membawa alam sadar masyarakat terjebak dalam keraguan untuk menyuarakan kritik yang konstruktif dalam perjalanan pemerintahan yang ada.
Halaman