
Kapal selam tersebut juga membawa 53 awak. Oleh karena itu, TNI serta sejumlah pihak yang turut membantu pencarian harus berpacu dengan waktu untuk menemukan kapal selam yang hilang itu. Selain itu, sejumlah negara juga ikut membantu mencari KRI Nanggala-402, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Insiden yang dialami KRI Nanggala-402 tersebut merupakan insiden terbaru mengenai tragedi kapal selam di seluruh dunia. Dunia mencatat, ada sejumlah insiden yang terkait kapal selam terjadi hampir setiap tahun sejak kapal tersebut diperkenalkan di dunia. Insiden-insiden yang melibatkan kapal selam berbagai macam. Ada yang berhasil diselamatkan, ada pula yang tidak. Melansir Journal of Military and Veterans’ Health, dan dikutip dari kompas.com, sejarah keberhasilan penyelamatan kapal selam sama panjangnya dengan sejarah kapal selam itu sendiri. Bahkan, sejak kapal selam diperkenalkan, pertanyaan lama yang tetap relevan hingga kini adalah: apa yang bisa dilakukan jika kapal selam tenggelam dan tidak bisa kembali ke permukaan? Publikasi berjudul Submarine escape and rescue: a brief history yang ditulis Nick Stewart menuturkan bahwa awak selam memiliki dua upaya jika kapal selam gagal kembali naik ke permukaan. Upaya pertama adalah menyelamatkan diri, sedangkan upaya kedua adalah diselamatkan. Upaya menyelamatkan diri adalah upaya penyelamatan diri sendiri untuk mencapai permukaan laut tanpa bantuan eksternal. Sedangkan upaya diselamatkan dilakukan oleh pihak luar yang mengeluarkan awak yang terperangkap di dalam kapal selam yang gagal naik ke permukaan. Lihat Foto Seoarang awak kapal, Rosenkotter, keluar dari pintu darurat kapal selam dengan memakai alat bantu pernapasan darurat Momsen Lung selama uji coba padai 1930 di Amerika Serikat (AS). Upaya penyelamatan diri Pada era awal kapal selam modern, fokus utama bagi perancang untuk keselamatan awak kapal selam adalah opsi menyelamatkan diri. Pada 1910, diperkenalkan sistem penyelamatan diri dengan alat bantu pernapasan yang diadopsi dari para penambang batu bara. Alat bantu pernapasan ini menggunakan soda-lime cartridge. Alat ini pertama kali digunakan oleh sistem penyelamatan diri awak kapal selam U3 Jerman yang tenggelam pada 1911. Jerman menamai alat bantu pernapasan tersebut sebagai Drager. Sistem ini lantas diikuti oleh sejumlah angkatan laut untuk kapal selamnya. Pada 1929, Angkatan Laut Kerajaan Inggris mengadopsi sistem yang hampir sama dengan nama Davis Submarine Escape Apparatus (DSEA). Amerika Serikat (AS) lantas mengikutinya pada 1957 dan dinamakan Momsen Lung. Alat bantu pernapasan dalam sistem penyelamatan diri ini lazim digunakan hingga 1946. Pada tahun itu pula, Angkatan Laut Kerajaan Inggris melakukan penyelidikan mendalam terhadap DSEA-nya. Hasil penyelidikan tersebut menyimpulkan, tidak ada perbedaan tingkat kelangsungan hidup antara mereka yang menggunakan DSEA untuk menyelamatkan diri dan mereka yang menyelamatkan diri tanpa DSEA. Akibatnya, DSEA diganti dengan teknik free ascent. Dalam teknik ini, kru kapal selam diajari teknik bernapas untuk menyelamatkan diri dari kapal selam. Untuk membantu menyelamatkan diri, awak kapal selam juga dapat menggunakan jaket pelampung atau cincin apung. Teknik free ascent dengan bantuan alat apung lantas diadopsi oleh kapal selam Angkatan Laut Australia di Submarine Escape and Rescue Centre di HMAS Stirling. Setelah itu Angkatan Laut AS juga mengembangkan sistem penyelamatan diri dan memperkenalkan Steinke Hood pada 1962. Steinke Hood merupakan body suit penyelamatan diri yang dilengkapi tudung dan masker plastik yang terpasang pada jaket pelampung. Steinke Hood memungkinkan anggota kru menghirup udara yang terperangkap di tudung saat upaya penyelamatan diri dan naik ke permukaan laut. Free ascent dan Steinke Hood diterapkan cukup lama, tetapi kedua sistem ini tetap memiliki kekurangan. Pada 1950, kapal selam Inggris HMS Truculent tenggelam setelah bertumburan dengan kapal dagang yang terlihat dari pantai Inggris. Semua dari 72 awak berhasil mencapai permukaan. Namun, hanya 15 yang selamat dan sisanya tersapu ke laut oleh air pasang dan hilang. Kekurangan dua sistem penyelamatan itu kembali terbukti melalui bencana yang menimpa kapal selam milik Uni Soviet, Komsomolets. Kapal selam tersebut tenggelam pada 1989. Dari 69 awak kapal tersebut, 34 di antaranya berhasil naik ke permukaan. Namun, mereka meninggal karena hipotermia, gagal jantung, atau tenggelam. Pada 1990-an, sebagian besar angkatan laut dunia yang mengoperasikan kapal selam, termasuk Angkatan Laut Australia, mengganti sistem penyelamatan diri yang ada dengan Submarine Escape Immersion Ensemble (SEIE) yang dikembangkan Inggris. Menggunakan udara yang terperangkap, mirip dengan Steinke Hood, SEIE menutupi awak kapal selam sepenuhnya dan yang terpenting, memberikan perlindungan termal. Selanjutnya, SEIE juga dilengkapi rakit pelampung yang begitu berada di permukaan dapat dikaitkan dengan rakit pelampung lainnya. (***)