Jakarta-Beritabatam.com | Industri tekstil dan produk tekstil siap membantu pemerintah dalam mewujudkan target substitusi impor sebesar 35% pada 2022. Pernyataan ini disampaikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), dan Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi).
“Beberapa kebijakan yang ada saat ini terlalu pro impor. Kami sangat senang pemerintah mencanangkan target substitusi impor 35%. Ini serta merta kita dukung. Intinya pebisnis, asosiasi dan pemerintah sudah satu visi,” kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Maka dari itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk menekan impor produk tekstil melalui sejumlah kebijakan. Diantaranya memperkuat integrasi hulu dan hilir pada industri tekstil melalui penggunaan bahan baku dalam negeri. Serta meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri diseluruh rantai nilai untuk mendukung target Kementerian Perindustrian untuk subtitusi impor 35%.
“Kami juga meminta kementerian dan lembaga pemerintah lainnya untuk mendukung target dan visi Presiden untuk mengurangi importasi yang tidak diperlukan dan memprioritaskan penggunaan bahan baku dan barang yang sudah diproduksi dalam negeri,” paparnya.
Berikutnya para pelaku usaha tekstil juga mendorong agar pemerintah melakukan penegakan hukum kepada ratusan perusahaan pemegang angka pengenal importir-produsen (API-P) bodong dan pelanggar API-U (angka pengenal importir-umum) yang telah membanjiri pasar dengan produk impor.
“Para oknum tersebut telah merusak industri TPT nasional dengan sehingga menghambat investasi,” tegasnya.
Selanjutnya guna mendorong pemerintah unuk mengimplementasikan safeguard disektor garment dengan besaran bea masuk yang cukup untuk membendung impor dan memulihkan kondisi industri yang terkena injury dari banjirnya impor.
“Kami juga meminta adanya evaluasi perjanjian dagang yang sudah dilakukan agar bisa memberikan manfaat bagi sektor industri manufaktur khususnya sektor TPT. Pembentukan perjanjian perdagangan harus dilakukan secara cermat dan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian dengan indikator surplus neraca perdagangan yang lebih besar,” pungkasnya.
Sumber : wartawan ekonomi.co.id